“Hai, Itik Buruk Rupa. Rupanya kau masih di sini?” Nabila, salah seorang teman sekelasku menyapaku saat aku masih di dalam kelas padahal bel pulang sudah setengah jam lalu berdering.
Aku tersenyum, “Ya. Masih ada soal yang belum bisa aku kerjakan. Duluan saja.”
“Siapa juga yang mau menunggumu?” ucapnya sinis dan berlalu pergi.
Aku menarik napas dalam.
Itik Buruk Rupa. Panggilanku saat ini. Aku tidak masalah dengan panggilan ini. Aku mengerti mengapa orang-orang memanggilku seperti itu. Simple. Fisikku jelek. Dengan kacamata tebal, rambut keriting kusut, wajah berminyak dan penuh noda―entah jerawat atau noda yang lain, juga karena warna kulitku coklat lusuh.
Tak hanya itu, kata teman-temanku, pakaianku nggak up to date. Saat yang lain mengenakan pakaian sekolah junkies, aku tetap memakai seragamku dengan ukuran sedikit lebih besar dari badanku. Rok mereka yang biasanya di atas lutut, aku mengenakannya 5 cm di bawah lutut, juga kaos kaki yang biasanya mereka kenakan pas dengan mata kaki, aku mengenakannya hampir menyentuh lutut. Sepatu pantofel mereka berbanding terbalik dengan sepatuku yang hanya sepatu bertali biasa. Well, sepertinya tidak ada hal yang bisa diibanggakan dariku.
Wait! Ada, tentu saja ada! Aku berprestasi! Walaupun jarang sekali menempati posisi rangking pertama, aku selalu kebagian tempat di posisi 2 ataupun 3. Dan paling jauh, aku hanya meleset ke peringkat 5. Kadang aku merasa bangga dengan otakku. Namun, tidak ada temanku yang peduli dengan peringkatku. Aku seakan tembus pandang bagi mereka. Yah, saat SMP seperti ini memang jarang yang peduli tentang prestasi, apalagi aku bersekolah di sekolah yang tidak terlalu tenar di kalangan pendidikan. SMPN 93 ini memang tidak terlalu terkenal. Padahal letaknya berada di tengah kota. Siswa-siswi di sini lebih mementingkan pakaian, mode, dan penampilan mereka. Tidak hanya perempuan, bahkan terkadang, cowok pun ada. Mereka merasa bangga akan penampilan mereka, padahal setahuku, mereka yang seperti itu, otaknya melempem!
Pernah saat Sifa, salah satu temanku disuruh untuk mengerjakan soal bahasa Inggris yang menurutku mudah, ia hanya berdiri di depan kelas sambil garuk-garuk kepala dan tersenyum pasrah menatap guru. Juga saat Syelvi ditugaskan menjadi ketua di sebuah kelompok belajar dan saatnya ia harus berbicara di depan umum, ia malah kejang-kejang dan akhirnya pingsan. Padahal, Sifa dan Syelvi terkenal dengan kecantikan dan penampilan up to date mereka. Padahal pacar mereka cukup terkenal keren, cakep, dan tajir. Aku sih nggak tahu pasti, mereka pintar atau nggak. Menurut mataku, mereka itu adalah tipe-tipe cowok penyegar mata. Kalau aku jadi Sifa ataupun Syelvi, pasti aku akan berusaha untuk terlihat pintar di mata mereka. Cowok biasanya kagum sama cewek pintar.
Aku melewati tepi lapangan basket menuju keluar sekolah. Mataku terpaut pada sosok tampan sedang mendrible bola dan melayangkan tembakan. Ploosh! 3 point shoot. Keren. Aku memandangnya sesaat. Kak Reno, adalah anggota sekaligus kapten tim basket SMA 23 yang terletak di sebelah SMPku. Orangnya keren, murah senyum dan baik hati―katanya. Aku belum pernah bertegur sapa dengannya. Melihatnya saja aku sudah menundukkan wajahku. Aku takut jika aku dikacangi olehnya.
Seakan tersadar bahwa ada yang memperhatikan, Kak Reno menoleh ke arahku. Aku tersenyum tipis. Ia membalasnya. Waah, ternyata benar. Ia murah senyum! Aku kembali berjalan.
“Hei!” panggilnya. Hah? Siapa yang dia maksud? Aku?
Aku menoleh. Iya, dia sedang berlari ke arahku. Waah, ada apa ini? Aduh, aku jadi deg-degan nih! Apa dia ngajak kenalan? Haduh, bodoh! Nggak mungkin dia ngajak kenalan aku.
“Saya?” tanyaku meyakinkan. Ia mengangguk dan menyerahkan sebuah jaket biru muda.
“Jaketmu jatuh.”
Aku mengambilnya, “Makasih, kak.”
Aku kembali berjalan. Waaah, senangnya! Aku ngobrol dengannya! Vina Vinneke Annoyla ngobrol dengan Fahreno Arthur! Keajaiban. Hari ini tak akan aku lupakan seumur hidup. Temanku benar, Kak Reno adalah orang baik. Dan katanya, ia masih single. Apa ada kesempatan untukku? Hello! Impossible banget kan. Sang Pangeran jatuh cinta sama itik buruk rupa?
“Vivian, ngapain kamu bengong. Nggak liat-liat jalan. Kalo nabrak gimana?” tanya Anjar menarik tas ranselku dari belakang.
“Eh, Anjar! Sori, sori. Nggak lihat,” ucapku.
“Ya sudah, yuk, pulang.”
Aku mengikuti Anjar. Ia adalah temanku saat pertama kali masuk SMP. Sekarang ia duduk di kelas 3 SMA. Yah, beda 3 tahun sih. Nggak tahu kenapa juga kenapa Anjar mau aja temenan sama aku. Aku sih nggak keberatan. Tapi kan, Anjar itu lumayan keren juga. Yang aku denger sih, Valentine kemarin ia dikasih coklat banyak gitu sama temen ceweknya, entah yang dikenal dan nggak. Tapi dia malah ngasih coklatnya ke anak-anak jalanan di tiap lampu lalu lintas. Katanya sih, biar sama-sama ngerasain coklat.
“Vi, besok nonton yuk? Ada film yang bagus loh. Film action gitu. Ada Jackie Chan juga. Mau nggak?” tawarnya.
“Bayar sendiri-sendiri?” tanyaku. Yah, dengan nada harap-harap dibayarin. Hehe… Anjar berpikir sejenak.
“Nggak, aku traktir deh. Memangnya kamu lupa, besok aku ulang tahun?” tanyanya.
Aku menepuk dahiku pelan, “Oh iya! Aku lupa. Maaf, ya?”
Anjar terlihat kecewa, namun aku mencoba merayunya dan berhasil. Ia nggak ngambek lagi. Waah, besok bisa nonton gratis nih. Hehe…
♫
Aku dan Anjar berjalan menuju tempat parkir studio. Filmnya bener-bener keren. Cara bela dirinya oke banget deh. Sepanjang jalan, aku dan Anjar mengulas tentang film itu. Nggak ada bosennya kami membicarakannya. Mulai dari latihanya, sampai tokoh utamanya mengikuti sebuah turnamen bela diri dan menang! Kami sama-sama menyukai film action yang ada teknik bela dirinya. Menurutku itu keren.
Setelah nonton, kami menuju sebuah warung makan. Warung bubur ayam. Makanan favorit kami berdua. Aku mengeluarkan sebuah kotak dari tasku dan memberikannya kepada Anjar. Ia menerimanya dan tersenyum.
“Aku nggak bisa ngebeliin kamu barang mahal. Jadi yang itu aja, ya.”
Sebenernya aku nggak lupa ulang tahunnya. Aku sudah menyiapkan barang itu sejak 3 hari yang lalu. Sebuah syal hasil rajutanku. Aku memberinya warna putih dan abu-abu. Di musim hujan seperti ini, bagusnya kan pake yang hangat-hangat.
♫
Musim try out. Huuft, karena sudah kelas 3, aku harus menyiapkannya dengan sungguh-sungguh. Aku bertekad untuk masuk SMA 72. Salah satu SMA favorit. Semoga saja aku lolos nanti. Alasanku masuk sana juga, karena Robby, cowok yang aku suka ada di sana. Bagiku, ia sangat sempurna. Cowok cakep, populer, keren, dan baik banget. Aku kemarin nggak sengaja kenalan sama dia. Waktu lagi jalan ke sebuah pusat perbelanjaan. Saat aku mau mengambil lampu lava berwarna hijau yang ternyata hanya satu-satunya. Eeh, nggak tahunya dia juga mau ngambil itu. Tapi yah, seperti kebanyakan sinetron, dia ngasih lampu itu buat aku. Dari situ kami kenalan.
Yah, cuma sekadar kenal nama aja. Ketemu pun kami jarang. Tapi nggak tahu kenapa, aku suka aja sama dia. Waktu dia mengulurkan tangannya buat kenalan. Jarang-jarang cowok cakep kayak dia mau kenalan sama aku, Si Itik Buruk Rupa. Makanya aku pengen lebih deket sama dia.
Hari ini aku memutuskan untuk jalan-jalan ke mall. Aku mau refreshing. Masa iya belajar terus? Lama-lama aku bisa stress karena ujian. Aku memasuki sebuah kafe dan menuju meja yang masih kosong. Hei, bukannya di meja nomor 8 itu Robby? Aku tersenyum simpul dan berjalan menuju ke arahnya.
“Robby,” sapaku.
Robby menengok dan menatapku. Ia tersenyum tipis. Saat ia mau membuka mulut, seorang cewek cantik, tinggi, putih, dan langsing mendatangi Robby.
“Siapa, Sayang?” tanyanya genit.
Robby merangkul cewek itu, “Nggak tahu, Honey. Tiba-tiba dia nyamperin aku.”
Aku mendengar hal itu langsung berkomentar, “Lho? Kita kan kemarin kenalan waktu beli lampu lava?”
“Sayang, jangan bohong lho. Kayaknya dia serius kenal sama kamu,” si cewek berkomentar lagi sambil mengelus pipi Robby.
“Nggak mungkin aku kenal laah. Sayang lihat nggak sih, dia ini kan penampilannya nggak level banget sama tipe aku. Masa iya aku kenal sama dia?”
DOEEEENG!!!
Bagai dijatuhi batu besar. Sakit banget deh dipermalukan gini. Apalagi sama Robby yang notabene cowok yang aku suka. Aku langsung berpura-pura minta maaf dan pulang. Hiks, menyebalkan sekali. Ternyata cowok itu semuanya cuma ngelihat dari fisiknya aja.
Seharian aku menangis di dalam kamar. Mataku sepertinya bengkak. Pengalaman hari ini benar-benar membuatku membulatkan tekad. Aku harus mengubah sosokku. Mengganti pakaian goborku, melepas kacamataku dan mempermak wajahku!
“Aku bakal jadi cantik!”
♫
“Maaf, tapi aku nggak ada rasa sama kamu. Maaf, ya?” ucapku saat menolak Kak Achmad, divo sekolah. Ia terlihat lesu. Kasihan sih, tapi mau gimana lagi? Aku kan emang nggak suka. Mulai awal aku masuk SMA sampe hari ini, ada saja yang menyatakan perasaannya padaku. Heran, padahal waktu SMP aku seakan invisible. Ternyata argumenku benar, cowok memang cuma ngelihat cewek dari fisik indahnya saja. Aku memang sedikit bangga sih, karena disukai oleh beberapa cowok. Tapi karena mereka cuma ngelihat dari luar, makasih deh!
“Kamu jadi aneh.”
Begitu yang diiucapkan Anjar saat ia menjemputku di sekolah. Aku menatapnya. Minta jawaban, kenapa dia bilang aku aneh? Apa pitaku miring? Atau bedakku belepotan?
“Stylemu jadi aneh, Vivian. Bajumu terlalu sempit, ngelihatkan bentuk badanmu, tahu! Sudah gitu, kenapa rambutmu jadi kayak sapu ijuk gitu? Terlalu lurus itu nggak bagus. Dan juga, matamu. Contact lens itu bisa bikin mata tergores. Pake warna abu-abu pula. Vivian, Vivian,” komentarnya panjang lebar.
“Kenapa sih, Njar? Kamu nggak suka ngelihat aku cantik? Nggak suka ngelihat aku seneng?”
“Bukannya gitu. Senang itu kan bukan hanya dari berpenampilan cantik.”
Anjar mengkhotbahiku panjang lebar. Berakhir dengan aku membanting pintu mobilnya dan berlari ke dalam rumah. Kenapa sih Anjar protes kalau aku berubah jadi cantik gini? Apa dia nggak suka ngelihat cewek cantik? Memangnya Anjar itu rabun, ya nggak bisa ngelihat cewek cantik? Ugh, aku benci Anjar. Aku nggak mau lagi diantar jemput sama dia. Huh!
“Vivian, kenapa?” tanya Christin saat di kelas.
Aku tersenyum, “Nggak apa ko, Tin.”
Aku masih sebal dengan Anjar gara-gara kemarin. Dan karena itu juga aku harus naik bus ke sekolah. Hu-uh. Apa aku yang salah, ya? Tapi nggak bisa gitu juga dong. Setiap manusia kan mau berubah. Siapa juga yang tahan dengan sosok begitu dan selalu diejek? Pokoknya Anjar yang salah.Titik!
“BRUUK!” Seseorang menabrakku saat aku melintasi ruang Kurikulum. Robby. Huh, mengingat insiden yang lalu, aku benar-benar masih sebal. Kulihat dia terperangah menabrakku. Ia mengulurkan tangannya untuk minta maaf. Entah kenapa, matanya tidak terpaut dari aku. Detik selanjutnya, dia ngajak kenalan.
“Hah? Kamu Vina?!” terpancar ekspresi kaget dari wajahnya. Tak lama, ia ngajak ngobrol. Wah, senang juga, ya bisa ngobrol dengan cowok yang dulu kita suka. Apa aku masih boleh menyukainya lagi?
♫
Hari ini aku janjian dengan Robby untuk nonton film. Seneng banget deh. Oh, iya, kemarin aku dan Robby resmi jadi pasangan. Katanya sih, dulu dia bodoh pura-pura nggak ngenalin aku. Here, I am. Dengan sosok Vivian yang baru.Tak ada lagi baju gobor, kacamata tebal, rambut keriting, kulit gelap, dan noda di wajah. Metamorfosisku setelah 2 bulan perawatan teratur.
Di dalam studio, kami memilih tempat duduk agak pojok, seperti pasangan lain. Film yang kami tonton saat ini memang nggak aku suka, film roman. Padahal tadi ada film action yang bagus, tapi karena aku pergi dengan Robby, pacarku, jadi nggak apa deh sekali-sekali. Film dimulai. Robby menggenggam erat tanganku dan tangan satunya lagi terkadang menyibakkan rambutku.
“I love you,” katanya saat ia mendekatkan diri ke telingaku. Aku menjadi sedikit risih dan hanya tersenyum menanggapinya.
Selanjutnya, tangannya mulai menggerayangi punggungku kemudian beralih ke paha. Igh, sumpah deh, aku nggak enak banget. Aku mendorongnya agak menjauh. Dia menanyakan kenapa, ku jawab simple, risih.
“Kamu nggak sayang sama aku?” tanyanya berbisik dan mencium pipiku. Aku bingung. Aku jelas sayang sama dia, tapi nggak mungkin juga dong kalo nonton kayak gini. Anjar aja nggak pernah. Hei, kenapa Anjar? Jelas dia bukan siapa-siapaku.
Robby kembali menarik bahuku dan menyandarkanku di dadanya. Aku mencoba kembali duduk tegak. Namun ia tak kehabisan akal. Ia mendekatkan kembali kepalanya dan mencium leherku! Well, satu adegan ini nggak bisa aku terima. Aku marah. Menamparnya dan berlari keluar studio. Padahal filmnya baru berjalan setengah jam. Ia mengejarku. Meminta maaf. Karena sayang, aku memaafkannya.
“Robby!” seorang cewek datang. Ia bukannya cewek yang aku temui saat di kafe dulu?
“Hei, sayang,” ucap Robby kemudian mencium leher gadis itu. Yeekh! Tapi,… Sayang?!?!
“Kamu ngapain di sini? Cewek itu siapa?” Kamu selingkuh, ya, Honey?”
“Nggak lah. Dia ini cuma adek kelasku aja. Dia ngajak nonton hari ini. Kan nggak enak nolak. Apalagi dia yang traktir,” Robby menatapku, “makasih, ya udah ditraktir.”
Aku kaget, “Heh, cewek, kamu siapanya Robby?”
“Aku? Pacarnya lah. Kami udah jadian 3 tahun dan besok hari jadi kami. Kamu siapanya?” cewek itu balik nanya. DOEEEENG!!! Dua kali dijatuhi batu besar oleh orang yang sama.
“Asal kamu tahu, ya? Aku sama Robby baru jadian kemarin dan dia bilang dia tuh jomblo. Lagian hari ini dia yang bayar semuanya kok. Mulai makan sampe nonton. Bukan aku.”
Beberapa pertengkaran kecil kami timbulkan. Dan berakhir dengan PLAK! PLAK! Di kedua pipi Robby. Robby ingin menjelaskan sesuatu tapi kami memotongnya dengan kata, “PUTUS!” Aku dan si cewek ber-toast ria, padahal kami belum saling kenal.
♫
Sudah satu minggu aku nggak ketemu Anjar. Kangen juga sih. Apa aku datang kesana aja, ya? Tapi masa aku minta maaf sama dia? Kalaupun iya, apa dia mau maafin aku? Apa dia masih marah sama aku? Kalo diinget-inget lagi sih, kemarin aku yang marah sama dia. Jadi aku harusnya gimana dong?
“TING TONG!” bel rumahku berbunyi. Mama membukakan pintu. Siapa, ya? Aku menunggu mama memanggilku, namun tidak. Berarti bukan tamu untukku. Aku menuju cermin dan mendapati diriku di sana. Sosok cantik yang sekarang, sebenarnya bukan aku. Saat ini yang ada di cermin bukan aku. Entah kenapa aku jadi kangen dengan panggilan itik buruk rupa. Karena sosok Itik buruk rupa ini telah menjadi seekor angsa yang cantik dan menawan. Tapi penuh kepura-puraan. Aku menyembunyikan diriku dan memakai topeng orang lain.
“Putri Angsa lagi bercermin, ya?”
Aku menoleh, “Anjar?!”
“Keluar dari sarangmu, gih. Kita ngobrol di taman.”
Aku mengikutinya menuju taman. Anjar ngapain kesini? Apa dia kangen juga sama aku? Vivian, ini kesempatan untuk minta maaf.
“Maaf, ya kalo ucapanku yang lalu bikin kamu marah,” ucapnya. He? Dia yang minta maaf? Anjar menjelaskan alasannya dari a sampai z. Wow, ternyata dia nggak mau aku terlalu larut dalam kesenangan. Ada kalanya seorang yang cantik itu harus menderita. Dan penderitannya nggak cuma diolok aja, bahkan lebih parah dari itu. Anjar nggak mau sampe aku terlalu larut dalam kesenangan dan ngelupain pelajaran. Yeah, memang prestasiku sedikit menurun karena waktu luangku aku gunakan untuk merias diri. Kami saling bermaafan.
“Jadi aku harus ngubah diriku jadi yang dulu lagi nih?” tanyaku.
“Nggak perlu. Kamu cukup jadi dirimu sendiri. Buatku, kamu tetep Putri Angsa kok.”
“Yah, yah. Mulai ngegombal nih. Tapi jujur, ya. Aku nggak ketemu sama kamu selama ini tuh jadi kangeeeeeen banget.”
“Oh, ya? Emang aku ngangenin sih. Hehe… Aku juga kangen kok sama kamu,” ucapnya. Aku tersenyum.
“Aku juga sayang sama kamu,” sambungnya. Aku menatapnya. Well, Anjar punya mata yang teduh. Nyaman banget rasanya kalo sama dia. Apa aku …
“Kamu mau jadi pacarku? Dari dulu aku sayang sama kamu, Putri Angsa. Aku nggak mau kalo kamu sampe salah langkah lagi gara-gara aku nggak di sampingmu.”
Aku tersenyum dan memeluknya, “Ya.”
“I love you, Vivian.”
You Might Also Like :
0 komentar:
Posting Komentar