Senin, 19 Desember 2005

Surat Terakhir Nayla


19.47 |

      Dimas memandang sebuah nisan bertuliskan nama perempuan yang dicintainya, hingga saat ia harus pergi meninggalkannya. “Nayla Widjaya”, begitu yang tertera di papan nisan. Bulir demi bulir air mata Dimas perlahan jatuh dari balik kacamata hitamnya. Namun segera ia hapus dengan tisu yang diberikan Siska, sepupunya. Di tangan kirinya, ia memegang sebuah amplop manis berwarna abu-abu, warna kesukaan yang ia ingat disukai oleh Nayla. Amplop itu terlihat agak basah karena sedari tadi Diman menahan rasa sedihnya, rasa pilunya, rasa marahnya, juga rasa sayangnya terhadap Nayla.
            Setelah pemakaman, Dimas langsung terkapar di tempat tidur dan terlelap. Ia berharap, semua kejadian hari ini adalah mimpi. Dan saat ia bangun, ia masih bisa melihat wajah Nayla, senyum Nayla. Ada sebuah perasaan yang menyesakkan dadanya. Sebuah rasa penyesalan. Ia masih ingin berada di samping Nayla, walau tak pernah menegur Nayla, mantan kekasih yang masih sangat ia cinta. Ia menyesal karena belum sempat mengutarakan cintanya kembali kepada Nayla. Ia belum mengatakan bahwa ia masih ingin bersama dengannya, ia ingin mengerti keseluruhan Nayla, dan kalau pun Tuhan mengizinkan, ia ingin sampai menikah dengan Nayla.
            Tepat tengah malam, Dimas terbangun dan matanya tertumbuk pada sebuah amplop yang diberikan oleh Nasha, adik Nayla. Nasha berkata, amplop itu harus ia berikan pada Dimas saat pemakaman Nayla. Dimas ragu untuk membukanya atau tidak. Ia masih sangat terguncang dengan kematian Nayla. Dengan perlahan ia membuka amplop itu dan menemukan sebuah surat berwarna senada dengan amplopnya dan ditulis dengan tinta warna hitam.
            “Khas tulisan Nayla,” gumam Dimas saat melihat sekilas keseluruhan surat itu.
            “2 Desember…” Dimas membaca tanggal ditulisnya surat itu. Tepat pada tanggal pemakaman. “Seperti sudah diniatkan saja,” ucapnya sinis.
            Dimas, apa kabar?
            “Kau pikir setelah kau meninggal aku akan langsung baik-baik saja?” komentar Dimas.
            Aku pake bahasa resmi aja ya? Biar seru dan dramatis! Hehe…
            “Sok artis!” komentar Dimas lagi.
            Waktu kamu baca surat ini, pasti aku sudah tak ada lagi di matamu, di duniamu…
            “Kamu bakalan selalu ada di hatiku,” ucapnya serak. Dimas menghentikan membaca surat itu. Air matanya kembali mengalir.
            “Bodoh! Cowok macam apa aku? Gampang banget nangis!” makinya. Ia kembali membuka surat itu dan berusaha menahan perasaannya yang mungkin akan meluap.
            …lebay banget yah? Ahahaha.. Kayaknya lebih baik pake bahasa campuran aja deh!
            “Hei, dia ini sebenernya mau nulis surat atau apa sih?” Dimas perlahan tersenyum membaca surat itu.
            Di surat ini, aku mau jujur sama kamu. Tentang perasaanku, tentang kamu, juga tentang kita. Aku bingung harus mulai dari mana. Mulai saat kita pertama bertemu saja, ya? Waktu itu kenaikan kelas sebelas. Aku melihatmu saat memasuki ruangan. Perasaanku rada nggak enak sih, habisnya kakakmu kan pernah nyatain perasaannya ke aku, tapi aku nggak mau. Dia bukan tipeku! (sampaikan maafku padanya).
            “Hah? Satria pernah suka sama Nayla?” Dimas terperanjat.
            Tapi karena aku teringat kakakmu, aku jadi lebih sering memperhatikanmu. Entahlah, aku juga nggak ngerti kenapa aku merhatiin kamu. Ada sesuatu yang beda di mataku. Kamu beda dengan Satria. Dan saat pertama kali kamu mengirimiku sms untuk menanyakan PR, entah kenapa aku merasa senang. Seperti aku menunggu sesuatu yang aku impikan.
            Aku tahu, di kelas kita tak banyak berbicara. Aku juga terlalu gengsi untuk menegurmu. Aku lebih mengharapmu yang notabene sebagai cowok untuk menegurku duluan (pikiranku masih seperti jaman dulu, ya?). Walaupun hampir setiap malam kita sms-an, tapi di sekolah rasanya jauh, ya? Seperti nggak kenal satu sama lain. Kamu memang sering ke rumah untuk pinjam catatan atau apa gitu, tapi hanya sebatas itu.
            Sampai saat bulan Maret itu, kamu ke rumah dengan membawa gitar dan bernyanyi untukku. Hal itu sangat romantis menurutku. Saat itu sepertinya aku mulai menyukaimu, tidak mungkin lebih dulu lagi perasaan itu ada, atau… entahlah. Aku binguuung!!!
            Dimas mengangkat sebelah alis matanya. Heran.
            Aku senang sekali saat kau menyatakan perasaanmu padaku. Jujur, aku senang, tapi mungkin waktu itu tidak pas L. Aku baru saja putus dengan mantanku yang… yah kau tahu siapa dia. Saat itu aku masih sayang padanya. Aku tak bermaksud mempermainkan hatimu. Hanya saja, saat itu aku masih memiliki rasa untuk mantanku itu dan sekarang aku rasa ia tak pantas mendapatkannya! Aku memang menyukaimu, tapi karena waktunya tidak tepat, maaf, aku harus mengambil jalan tengah. Putus denganmu. Saat itu aku memang egois, tidak memikirkan perasaanmu. Aku pikir saat itu hanyalah perasaan sesaat saja. Namun akhirnya aku sadar, itu salah.
            Setelah putus denganmu, aku juga tidak bisa balikan dengan mantanku itu. Aku nggak mau kembali dengannya karena ia pernah selingkuh dariku. Well, aku nggak akan ngebahas ini lebih lanjut deh! Nanti kamu cemburu. Hahaha…
            Dimas manyun.
            Setelah putus denganmu, aku merasa ada yang beda. Karena kamu juga berubah. Aku tak mengerti alasan kamu berubah. Apa kamu salah paham denganku atau ada alasan lain. Kamu makin jarang mencari gara-gara di depanku. Kadang kau malah mengalihkan pandangan saat aku mau menegurmu. Kau seakan menghindar. Iya, aku tahu aku salah. Tapi saat kau bersikap begitu, aku malah tambah merasa bersalah.
            “Maaf,” ucap Dimas pelan.
            Do you know something? Saat kenaikan kelas dua belas, aku senang sekali bisa satu kelas lagi denganmu. Aku juga merasa makin hampa. Karena walaupun satu kelas, aku hanya bisa menatapmu. Hanya bisa memperhatikanmu dari jauh. Memperhatikanmu saat kamu bermain bola di lapangan dengan keringat yang kadang mengucur dari pelipismu. Memperhatikanmu dari kursi di mana aku duduk, yeah aku sering curi-curi pandang kepadamu! Hehehe…  Atau saat kau berada di depan kelas untuk membacakan pidatomu yang berjudul “Realita Anak Band Masa Kini”. Haha… Waktu itu kamu lucu sekali. Berbicara seperti mengguman sampai dikomentari oleh guru bahasa Indonesia kita, Bu Yuniar, suaramu lebih mirip dengungan lebah!
            “Haha… Kurang ajar!” Dimas cekikikan sendiri di kamarnya.
…Ada salah seorang temanku menggodaku karena ia tahu kita sempat berpacaran. Well, saat itu aku malu dibuatnya. Bukan hanya karena ia menggodaku saja, namun dari situlah seluruh kelas mengetahui hubungan yang pernah kita jalani. Aku bukannya malu karena pernah berpacaran denganmu, tapi aku merasa tidak enak denganmu. Aku tak ingin kamu dipermalukan di kelas karena aku masih sayang kamu.
            “I do.”
            Kamu tahu nggak? Tanggal 5 November saat kamu panggil namaku karena saat itu aku disuruh menghadap ke wali kelas kita, waktu itu aku senang sekali. Akhirnya kamu sedikit meringankan hatiku. Karena aku sudah rindu sekali mendengar suaramu memanggilku “Nayla”. Kalau aku punya mesin waktu Doraemon, aku mau kembali ke masa saat kita pacaran. Memperbaiki kesalahanku padamu dulu. Tapi sayangnya, Doraemon itu tidak nyata L
            “Dimas”. Kata itu seperti jimat untukku. Karena saat aku mengucapkan namamu, ada sebuah ketenangan di hatiku. Hatiku serasa melayang, melambung tinggi. Tapi terkadang pipiku juga panas saat menyebut namamu. Hehehe…
            Kamu tahu kenapa aku menyukaimu? Memang kata orang, kalau cinta membutuhkan alasan, saat alasan itu hilang, cinta bisa ikut hilang bersamanya. Tapi saat bertemu denganmu, ada hal yang membuatmu nampak beda. Aku tidak tahu itu apa, tapi aku yakin di situlah alasan aku menyukaimu.
            Maaf ya, jika selama kita kenal, aku pernah menyakiti hatimu. Maaf jika aku terkesan mempermainkanmu. Maaf jika akhirnya kau salah mengerti perasaannku. Bukan maksudku untuk mengabaikanmu. Tapi aku akan merasa malu jika orang yang aku suka mengetahui perasaanku yang sebenarnya. Aku tidak ingin gila di dalam cinta, aku tidak ingin dipermainkan oleh cinta. Makanya sebisa mungkin aku menutupi rasa ini dengan bersikap acuh padamu. Maaf sekali!
            “Forgiveness accepted! But it wouldn’t make you life again. It wouldn’t make you standing beside me.”
            Terima kasih Dimas. Terima kasih karena kamu sudah pernah menjadi seseorang yang berarti di hatiku. Seseorang yang pernah mengoleskan tintanya di kanvas hatiku…
            “Puitis banget, Sayang,” Dimas tersenyum.
…Terima kasih kau pernah sempat membalas rasa dan anganku. Terima kasih juga sebelumnya, jika kau memaklumi segala sikap dan sifatku padamu. Mungkin kaulah yang paling berkesan dalam hatiku. Karena kamu mengajarkanku arti cinta. (Boleh aku memanggilmu “Sayang”?)
            Terima kasih untuk semuanya, Sayang.
            Sekarang aku pergi.                              
            Life must go on and makes ur dream comes true! Aku ingin melihatmu bahagia. Bahagia dengan orang yang memang telah ditakdirkan bersamamu. Aku akan selalu memandangmu, di tempatku sekarang.
            Aku masih mencintaimu hingga akhir hayatku, Dimas Sayang©©©



Salam Sayang,

Nayla


P.S.: Doakan dan ikhlaskan aku, ya!

            Dimas melipat kembali surat itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop. Ia beranjak menuju lemari dan menaruh surat itu di sebuah kotak kecil. Isinya adalah foto-foto Nayla yang diam-diam ia ambil dari situs jejaring Nayla. Hampir tiap malam sebelumm tidur, Dimas selalu memandangi foto itu. Ia paling suka dengan foto Nayla saat ia tersenyum di depan Monas. Senyumnya lepas terlihat gembira sekali.
            “Ah, Nayla. Seandainya saja kau juga tahu bahwa aku akan selalu mencintaimu,” desah Dimas.
            “Aku tahu,” jawab sebuah suara. Dimas berbalik mendengar suara itu. Bukan karena ia takut bertemu hantu atau semacamnya. Tapi suara itu persis dengan milik Nayla. Oh, bukan! Itu memang Nayla!
            “Nay…” Dimas tercekat. Roh Nayla mendekat. Ia memeluk tubuh Dimas. Tapi yang Dimas rasa adalah kehampaan. Nayla tembus pandang!
            “Aku ingin benar-benar melihatmu,” ucap Nayla. Setitik air mata terlihat di ekor mata Dimas. Nayla tertawa.
            “Kamu kan cowok! Masa’ nangis?” Nayla mengusap pipi Dimas. Dimas tak dapat berkata-kata. Ia senang sekali melihat Nayla berdiri di hadapannya. Mereka saling bertatapan dan saling mendekat.
            Kedua bibir mereka memang saling menempel. Tapi tetap saja Dimas merasa hampa. ‘Biarlah, yang penting aku bisa melihatnya tersenyum,’ batin Dimas.
            Tak lama, roh Nayla makin memudar hingga akhirnya menghilang. Dimas tersadar dan pergi menuju jendela. Menatap bintang, tidak, tujuannya agar Nayla bisa melihatnya dari sana, untuk menunjukkan bahwa Dimas akan baik-baik saja. Dimas akan melanjutkan hidupnya.
            Setelah beberapa lama memandangi langit, Dimas mematikan lampu dan pergi tidur.
            Selamat jalan, Nayla.


You Might Also Like :


0 komentar:

Posting Komentar

 

Slider-1-Title-Here

In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi. Aenean vulputate eleifend tellus. Aenean leo ligula, porttitor eu, consequat vitae, eleifend ac, enim. Aliquam lorem ante, dapibus in, viverra quis, feugiat a, tellus. Phasellus viverra nulla ut metus varius laoreet.

Slider-2-Title-Here

In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi. Aenean vulputate eleifend tellus. Aenean leo ligula, porttitor eu, consequat vitae, eleifend ac, enim. Aliquam lorem ante, dapibus in, viverra quis, feugiat a, tellus. Phasellus viverra nulla ut metus varius laoreet.

Slider-3-Title-Here

Aenean imperdiet. Etiam ultricies nisi vel augue. Curabitur ullamcorper ultricies nisi. Nam eget dui. Etiam rhoncus. Maecenas tempus, tellus eget condimentum rhoncus, sem quam semper libero, sit amet adipiscing sem neque sed ipsum. Nam quam nunc, blandit vel, luctus pulvinar, hendrerit id, lorem.

Slider-4-Title-Here

dui quis mi consectetuer lacinia. Nam pretium turpis et arcu. Duis arcu tortor, suscipit eget, imperdiet nec, imperdiet iaculis, ipsum. Sed aliquam ultrices mauris. Integer ante arcu, accumsan a, consectetuer eget, posuere ut, mauris. Praesent adipiscing. Phasellus ullamcorper ipsum rutrum nunc. Nunc nonummy metus. Vestibulum volutpat pretium libero. Cras id dui.

Slider-5-Title-Here

Aenean tellus metus, bibendum sed, posuere ac, mattis non, nunc. Vestibulum fringilla pede sit amet augue. In turpis. Pellentesque posuere. Praesent turpis. Aenean posuere, tortor sed cursus feugiat, nunc augue blandit nunc, eu sollicitudin urna dolor sagittis lacus.

Slider-6-Title-Here

Aenean tellus metus, bibendum sed, posuere ac, mattis non, nunc. Vestibulum fringilla pede sit amet augue. In turpis. Pellentesque posuere. Praesent turpis. Aenean posuere, tortor sed cursus feugiat, nunc augue blandit nunc, eu sollicitudin urna dolor sagittis lacus.

Slider-7-Title-Here

Aenean tellus metus, bibendum sed, posuere ac, mattis non, nunc. Vestibulum fringilla pede sit amet augue. In turpis. Pellentesque posuere. Praesent turpis. Aenean posuere, tortor sed cursus feugiat, nunc augue blandit nunc, eu sollicitudin urna dolor sagittis lacus.

Slider-8-Title-Here

Aenean tellus metus, bibendum sed, posuere ac, mattis non, nunc. Vestibulum fringilla pede sit amet augue. In turpis. Pellentesque posuere. Praesent turpis. Aenean posuere, tortor sed cursus feugiat, nunc augue blandit nunc, eu sollicitudin urna dolor sagittis lacus.

Slider-9-Title-Here

Aenean tellus metus, bibendum sed, posuere ac, mattis non, nunc. Vestibulum fringilla pede sit amet augue. In turpis. Pellentesque posuere. Praesent turpis. Aenean posuere, tortor sed cursus feugiat, nunc augue blandit nunc, eu sollicitudin urna dolor sagittis lacus.

Slider-10-Title-Here

Aenean tellus metus, bibendum sed, posuere ac, mattis non, nunc. Vestibulum fringilla pede sit amet augue. In turpis. Pellentesque posuere. Praesent turpis. Aenean posuere, tortor sed cursus feugiat, nunc augue blandit nunc, eu sollicitudin urna dolor sagittis lacus.

Slider-11-Title-Here

Aenean tellus metus, bibendum sed, posuere ac, mattis non, nunc. Vestibulum fringilla pede sit amet augue. In turpis. Pellentesque posuere. Praesent turpis. Aenean posuere, tortor sed cursus feugiat, nunc augue blandit nunc, eu sollicitudin urna dolor sagittis lacus.

Slider-12-Title-Here

Aenean tellus metus, bibendum sed, posuere ac, mattis non, nunc. Vestibulum fringilla pede sit amet augue. In turpis. Pellentesque posuere. Praesent turpis. Aenean posuere, tortor sed cursus feugiat, nunc augue blandit nunc, eu sollicitudin urna dolor sagittis lacus.