“Wah, serius?” ucap Aya tak percaya dengan apa yang diberitahukan oleh Novi, teman kelasnya.
“Beneran! Rumahku kan deket dari situ. Terus, temennya kakakku kan juga suka bulu tangkis. Jadi dia tahu kalo ada Indonesia Open di GOR,” jawab Novi.
“Aku mau nontoooon,” ucap Aya memelas, “tapi tiket masuknya berapa?”
“Nah, kalo masalah itu, nanti aku tanyain lagi deh.”
“Oke, tanyain secepatnya, ya? Kalo sudah tau, langsung kasih kabar. Oke?” Aya sangat antusias mendengar penyelenggaraan pertandingan bulu tangkis kelas dunia diadakan di kotanya, Samarinda. Memang, sudah tahun 2007 yang lalu GOR utama Kalimantan Timur itu berdiri. Tempatnya juga sudah digunakan untuk penyelenggaraan PON XVII. Tapi berhubung tempatnya di Palaran yang notabene jauh dari tempat tinggal Aya, ia belum pernah pergi ke sana. Alasannya hanya satu: Papa Aya tidak mengizinkan putrinya pergi ke sana. Alasannya sih sama kayak orang tua kuno yang lain. Terlalu jauh lah, karena cewek lah, takut ada apa-apa lah, dan beribu macam lagi alasan kalo ditanya.
Kalo untuk PON XVII, okelah Aya nggak datang. Karena selain jauh, panas, masuk ke dalam GOR juga dibilang lumayan jauh lagi, Aya nggak begitu berminat menonton PON. Nggak penting. Tapi sekarang beda. Tahun ini beda! Di GOR mulai tanggal 12 samapi 17 Oktober 2010 ada perhelatan bulu tangkis tingkat dunia! Nggak cuma pemain dari Indonesia aja yang datang, tapi juga dari Cina, Korea, dan kawan-kawan. Para pemainnya juga terkenal. Bisa dibilang Taufik Hidayat, Sony Dwi Kuncoro, Lin Dan, Bao Chun Lai, dan kawan-kawan (lagi).
Aya berpendapat, cuma penggila bulu tangkis yang bodoh aja yang melewatkan menonton sang idola bertarung demi memperebutkan gelar juara. Melewatkan smash-smash cantik yang diperagakan oleh Simon Santoso, idolanya, juga tidak melihat langsung orangnya.
Pulang sekolah, ia langsung duduk di depan meja komputer. Connecting ke internet. Mencari-cari informasi di dunia maya. Ia mulai membuka situs jejaring Yahoo! Koprol, facebook dan lain-lain. Salah satu kenalannya di sekolah memberi tahunya tentang harga tiketnya. Katanya sih 250 ribu untuk awal hingga hari akhir pertandingan. Lumayan murah, pikir Aya.
Otaknya mulai berpikir lagi, kalo ia memesan tiket penuh, tapi pulang sekolah jam 4. Dihitung-hitung rugi juga mengeluarkannya. Apalagi bulan ini bisa dibilang Aya sangat boros. Uang yang harusnya untuk sebulan saja sudah habis setengahnya, padahal belum pertengahan bulan. Jadi ia memutuskan untuk membeli yang per hari saja. Dicarinya uang di dalam selipan baju, di lemari, sampai di kolong tempat tidur, berharap menemukan selembar uang ribuan, atau lebih bagus puluh ribuan.
Yang ia tahu, harga tiketnya lima puluh ribu. Tapi saat semi final dan final, harganya naik menjadi 100 ribu. Aya sih masih mau menghemat uangnya. Jadi ia memutuskan untuk menonton hari pertama sampai hari ke empat. Hatinya benar-benar senang. Akhirnya hari itu akan segera tiba. Hari di mana ia akan bertemu idolanya secara langsung. Bertemu Simon Santoso secara langsung!
***
Aya lelah. Baru saja ia pulang dari sekolah. Tugas dari guru bahasa Inggris memang tidak begitu susah, karena ia bisa dibilang pintar dalam bahasa internasional itu. Tapi masalahnya, tugas itu harus dikumpulkan di ruang guru di lantai 2, dan entah kenapa jadi Aya yang membawa. Padahal ada Rizky, ketua kelas yang sebenarnya lebih punya tanggung jawab untuk membawa 40 buku itu ke ruang guru. Belum lagi cuaca hari ini sangat panas. Aya berbaring di kasurnya. Menerawang ke sebuah gedung olah raga. Hari ini hari pertama pertandingannya dimulai. Bagaimana jalannya pertandingan? Siapa saja hari ini dari Indonesia yang bertanding? Melawan siapa? Apa Simon hari ini juga bertanding? Bagaimana skornya? Berbagai macam pertanyaan muncul di benak Aya.
Aya ingin sekali pergi ke sana, tapi kaki Aya tidak sepaham dengan hatinya. Kakinya lelah sekali. Ia berharap, mungkin besok ada kesempatan. Semoga.
***
“Payah, payah, payah!!!” maki Aya di kamar. Ia menelungkupkan kepalanya di bantal. Menangis sesenggukan. Hari ini hari ke tiga pertandingan Indonesia Open. Awalnya Aya seneeeeeng banget, orang tuanya mau ikut untuk menonton pertandingan. Akhirnya sore tadi Aya pergi sekeluarga ke GOR. Jalanan macet. Di Jembatan Mahakam pun banyak kendaraan yang ngantri. Akhirnya papa Aya memutuskan untuk melewati jembatan Mahulu. Aya sih menurut saja, karena ia tidak benar-benar hapal jalan mana yang tercepat. Perjalanan menghabiskan waktu kurang lebih satu jam, itu sudah ditambah macet.
Aya sampai di GOR jam 7 kurang. Saat di loket, Aya yang tadinya dengan semangat ’45 langsung kendor. Dengan jelas terpampang di sana sebuah tulisan dengan 5 huruf berbahasa inggris―CLOSE. Hati Aya sudah sesak saat itu. Itu berarti, tiketnya sudah habis. Saat papa Aya bertanya pada salah seorang satpam di sana, ia mengatakan bahwa pertandingan memang sudah selesai. Lengkaplah sudah!
Rasanya Aya ingin teriak, memaki-maki, dan lain-lain. Ia sangat kesal. Belum lagi papanya yang menceramahinya panjang lebar karena Aya melipat mukanya berjuta lipatan. Aya kesal. Di perjalanan pulang, tanpa suara air matanya menetes. Hilang sudah kesempatannya untuk melihat langsung Simon Santoso.
Aya menangis di kamarnya. Masih tanpa suara, namun bahunya berguncang. Rasanya pedih sekali. Saat ia berangkat dengan hati yang penuh semangat, tak tahunya, hanya sia-sia ia datang karena pertandingannya usai. Bukan itu saja yang membuatnya sakit hati. Seorang ayah yang menurutnya harus kembali membangkitkan semangat anaknya―yah, paling tidak membelikan boneka mascot Indonesia Open di pamerannya sebagai ganti―malah menceramahinya panjang lebar. What a suck dad! makinya.
***
Matanya lumayan sembab gara-gara menangis semalam. Tapi ia berhasil menutupinya dengan make up. Nggak sia-sia belajar make up dari mbak Yun, salah seorang keluarganya yang bekerja di salah satu salon terkenal di Jakarta. Temannya mungkin bisa dibohongi dengan make up, tapi Fatur, pacar Aya, tidak bisa tertipu. Fatur sudah mengenal Aya 5 tahun dan sudah 3 tahun mereka pacaran, jadi dandanan apapun, Fatur masih bisa melihat dengan jelas mata Aya yang masih agak sembab.
“Mata kamu kenapa? Abis nangis?” tanyanya saat menjemput Aya. Yang ditanya malah menggeleng.
“Udah nggak usah boong lah,” ucap Fatur lagi.
“Nanti aja di rumah aku ceritain,” jawab Aya malas.
Di perjalanan, mereka tak banyak bercerita seperti biasa. Bahkan sampai rumah pun, Aya lupa untuk mempersilakan Fatur masuk. Yah, walaupun sebenarnya tanpa disuruh pun Fatur pasti akan tetap mengikuti langkah Aya ke dalam rumah.
“Sekarang cerita deh,” ucap Fatur saat mereka telah duduk di ruang tamu. Aya menaruh tas selempangnya sembarang. Dari awal Aya menceritakan bagaimana dengan semangat ’45-nya bersiap-siap untuk menonton pertandingan bulu tangkis yang sudah digemarinya sejak kecil itu. Sampai saat semangat ’45-nya padam saat ia sampai di sana ternyata pertandingannya telah usai. Dah, hei! Air mata juga mengalir menghias pipinya. Fatur terkejut melihatnya. Tidak biasanya gadis yang dicintainya itu menangis di depannya. Biasanya ia selalu terlihat tegar dalam menghadapi persoalan apapun. Tapi tidak saat ini. Di depannya tak lain hanyalah seorang cewek yang menangis karena gagal melihat pertandingan bulu tangkis.
Fatur memang sudah tahu tentang kecintaan Aya tentang bulu tangkis. Jadi ia masih bisa sedikit maklum jika Aya menangis gara-gara ini. Ia kemudian membelai rambut Aya dengan sayang. Berusaha menenangkan sesengukannya.
“Gimana kalo kita ke sana bareng? Minggu lalu kan kita nggak ada kencan sama sekali?” tawar Fatur. Aya berpikir sejenak. Benar juga, minggu lalu, Fatur memang sama sekali tidak bisa mengajak Aya jalan-jalan. Ia sibuk dengan kerjaannya. Hari sabtu ia harus lembur karena banyak tugas yang menumpuk, jadi Fatur nggak bisa ngapel malam Minggu ke rumah Aya. Dan hari Minggunya, Fatur nggak bisa ngajak Aya jalan, karena doi tiba-tiba ada acara keluarga yang penting. Entahlah, Aya nggak nanya lebih jauh karena ia juga lagi kecapekan.
“Makasih, Mas. Tapi nggak deh. Nggak untuk situasi perasaanku lagi gini,” jawab Aya.
Fatur memakluminya. Aya memang selalu seperti itu saat sedang marah. Emosinya masih belum bisa terkontrol. Tapi dengan usia Fatur yang berada 7 tahun di atas Aya, cowok itu lebih bisa memahami Aya.
***
Aya mulai berkutat dengan komputer dengan koneksi internet di kamarnya. Mulai mengetikkan beberapa kata di pencarian Google. Munculah beberapa data yang ia cari. Indonesia Open GrandPrix Gold. Ia mencari sebuah nama, Simon Santoso. Klik!
Hatinya merasa lebih ringan sedikit. Ternyata Simon tidak ambil bagian dalam pertandingan itu. Menurut berita, Simon masih dalam upaya pemulihan dari cedera pinggang saat di kejuaraan dunia. Karenanya ia harus mundur dari babak 32 besar kejuaraan dunia di Paris bulan lalu. Aya mendesah. Entahlah ia harus senang ataupun sedih. Mungkin juga keduanya. Senang, sedikit, karena Simon tidak bertanding. Itu artinya nggak terlalu rugi juga nggak nonton Indonesia Open. Sedih, karena Indonesia Open itu pertandingan tingkat dunia yang diselenggarakan di Samarinda. SAMARINDA!
Ia kembali ke halaman sebelumnya. Dan… hei! Ia menemukan salah satu pemain favoritnya yang lain! Dionysius Hayom Rumbaka. Ternyata Hayom juga bermain di Samarinda. Aya melenguh. Ia ingin melihat Hayom bertanding. Sesaat kemudian, ia teringat akan papanya yang melarangnya. Ia butuh refreshing.
***
“Serius kamu punya tiketnya?” tanya Aya pada Fadhol, temannya sekaligus pacar Fany, sahabatnya. Fadhol mempunyai 4 tiket semi final sampai final Indonesia Open. Dan yang pasti, Aya pasti langsung histeris mendengar itu.
Sampai di rumah, ia tak hentinya tersenyum. Sampai …
“Aya, makan siang dulu,” papanya menyuruhnya untuk makan siang. Senyum yang dari tadi mengembang di pipi Aya langsung hilang. Males banget kalo ketemu papanya saat ini. Sudah sejak malam itu, Aya nggak ada bicara ataupun menebar senyum ke arah papanya. Ia hanya menjawab dengan sebuah suara dengungan. Setelah mengganti baju, Aya langsung mengambil makan.
“Aya, kamu mau nonton Indonesia Open?” tanya papanya.
“Nggak perlu dijawab juga tahu jawabannya kan?” tanya Aya sinis.
Papanya menarik napas panjang, “Ya udah. Kalo emang mau ke sana silakan. Tapi emang kamu mau pergi sama siapa?”
“Sama Mas Fatur, sama Fadhol, sama Fany,” jawab Aya.
“Bener?”
“Iyalah.”
“Memang mau berangkat jam berapa?” tanya papanya lagi.
“Jam dua. Mungkin pulangnya jam lima,” jawab Aya mulai melunak.
“Ya sudah. Kalo mau ke sana, ya ke sana aja. Papa ngizinin,” ucap papa. Senyum Aya mulai mengembang kembali.
“Tapi inget, Fatur harus ke sini dulu!”
Aya serta-merta langsung memeluk dan member cipika-cipiki kepada papanya, “Makasih, Pa! Love you sooooooo much!”
***
“Waaaah, rame banget!”
Gedung bulu tangkis di GOR Palaran terlihat sangat ramai. Aya pergi bersama Fatur yang sebelumnya sudah diwanti-wanti papa Aya. Ia juga mengajak Fany dan Fadhol. Sampai menonton pertandingan, tak henti-henti Aya teriak-teriak untuk menyemangati Indonesia, atau saat Indonesia kecurian poin. Hati Aya saat ini sangaaaaat bahagia.
Senang sekali rasanya bisa melihat Taufik Hidayat langsung. Yah, walaupun Aya tidak melihat batang hidung Simon Santoso, biarlah. Ia masih bisa melihat wajah Hayom, pemain favorit barunya.
“Hayom cakep, ya, Mas?” pujinya di depan Fatur. Fatur langsung cemberut.
“Masih cakepan aku, kali!” tukasnya. Aya tersenyum kemudian mengecup kilat pipi Fatur.
“Makasih udah nganter aku ke sini.” Fatur merangkul bahu Aya kemudian mengacak rambutnya.
“Sama-sama, Sayang,” jawab Fatur.
Mereka melanjutkan menonton. Tangan Aya dingin karena pertarungan sengit antara Indonesia melawan Cina. Tenaga Cina memang kuat. Smash dari Indonesia pun masih bisa dikembalikan. Aya berpikir, kalo sebenernya para pemain Cina itu sebelumnya telah dicekoki dengan ramuan anti capek atau ramuan semangat terus. Kadang Aya gemas saat Indonesia gagal mencetak angka lagi. Ia sampai meremas tangan Fatur. Fatur langsung teriak kesakitan. Kemudian mereka tertawa.
“Udah jam lima, Dek,” ucap Fatur saat melihat jam tangan pemberian Aya saat ia berulang tahun.
“Bentar lagi deh, Mas. Tinggal dikit ini,” ucap Aya.
“Dek, nggak boleh gitu. Kan janjinya kita pulang jam lima. Yang penting kan udah bisa nonton pertandingannya,” jelas Fatur. Aya terdiam. Konsentrasinya masih tertuju pada lapangan.
“Tunggu Indonesia dapat satuuuuuuuuuu poin lagi, baru kita pulang. Oke?” tawar Aya. Fatur menyanggupi. 10 detik kemudian, Indonesia berhasil mencetak satu poin.
“Tuh udah dapat satu poin. Pulang yuk? Kan belum mandi juga,” ajak Fatur sabar. Aya menurut. Akhirnya mereka berempat pulang. Di jalan, nggak henti-hentinya ia mengulas semua pertandingan tadi. Yang pasti Aya senaaaang banget.
***
Malamnya, Fatur mengajak Aya pergi ke dinner. Tempatnya di daerah Juanda. Malam Minggu seperti ini memang kadang kafe-kafe ataupun tempat makan selalu penuh dengan remaja-remaja bercinta (J). Fatur dan Aya memilih tempat yang agak pojok, di bawah pohon rindang.
Seorang pelayan membawakan daftar menu kepada Aya dan Fatur. Setelah memilih dua steak tenderloin, satu lemon tea, satu lime squash, dan 2 french fries, mereka mengobrol bersama.
“Dek, tau nggak aku ngajak kesini buat apa?” tanya Fatur.
“Buat makan,” jawab Aya santai.
Fatur tertawa, “Iya. Itu kan alasannya aja. Niatnya kan beda.”
“Hah? Mas Fatur niat apa emang?” Aya terkejut dan memasang wajah negative thinking.
Fatur mengeluarkan sebuah kotak kecil dari kantong celananya dan membukanya. Sebuah kalung emas putih bertuliskan F. A.
“Happy anniversary, Aya,” ucapnya.
Aya menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Takjub. Kagum. Senang. Kaget.
“Mas Fatur… aku… lupa kalo …”
Fatur membelai rambut Aya dengan sayang, “Nggak apa kok. Wajar. Kan kamu mulai kemarin sibuk mikirin Indonesia Open.”
“Maaf, ya?” Aya merasa tidak enak.
“Sebagai gantinya, malam ini harus bikin aku seneng, ya?”
“Iya!” ucap Aya.
Fatur memasangkan kalung itu di leher Aya. Aya senang sekali. Hari ini hari terindahnya. Siang ini menonton Indonesia Open dan malamnya bersama Fatur merayakan hari jadinya. Aya juga seneng banget mendapatkan pacar seperti Fatur. Dewasa, bisa ngertiin sifat kekanak-kanakannya Aya, dan selalu tahu apa yang Aya inginkan. Lucky Aya.
Hari ini adalah hari terindah yang pernah Aya lalui. Bersama pacarnya, Fatur.
You Might Also Like :
0 komentar:
Posting Komentar